123conter

Senin, 12 Desember 2011

nama blog

Tak tahu lagi, apakah harus mengganti nama blog ini atau bagaimana. Ingin tetap memakai blog ini, tapi tak tahu bagaimana cara mengganti nama blog ini. Agak malas jika harus membuat blog baru. Kasihan juga kalau nanti aku punya istri, apakah masih pantas memakai nama blog ini. Kurasa tidak.

Aihhh kucing! Sebentar lagi aku lulus, cita-cita segera kutunaikan. Semoga semua orang setuju.

Mungkin aku akan lebih banyak merenung dan berkaca, dengan begitu inspirasi banyak yang datang. Semoga pekerjaanku nanti tidak terlalu memberatkan waktu dan pikiran. Yang jelas, aku ingin rajin menulis lagi. Bukan ingin terkenal, melainkan ingin menyumbangkan sisa-sisa pengetahuan kepada generasi berikutnya, agar mereka mengoreksi apa-apa yang kurang, agar mereka meneruskan semangat-semangat untuk kemajuan bangsa ini.

Orang-orang menganggapku idealis, tetapi impianku tidaklah semuluk impian semua orang: aku hanya ingin hidup yang sederhana nan bermakna.

Terima kasih telah mengunjungi blog sederhana ini. Semoga aku menemukan cara untuk mengganti namanya.

Rabu, 02 Juni 2010

Anda harus baca!

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/05/24/BHS/mbm.20100524.BHS133624.id.html

Minggu, 24 Januari 2010

website-website bahasa Indonesia

Ini adalah daftar website tentang bahasa Indonesia yang ditulis oleh orang asing, menggunakan bahasa Inggris.

http://www.indodic.com/Interlang.htm
http://en.wikibooks.org/wiki/Indonesian
http://users.skynet.be/dvran/bahasa.htm
http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/
http://www.101languages.net/indonesian/
http://maigo.sfc.keio.ac.jp/id/index.html
http://kamus.net/
http://coombs.anu.edu.au/WWWVLPages/IndonPages/Universities.html


Daftar website lokal yang wajib dikunjungi

http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/
http://pusatbahasa.diknas.go.id/glosarium/
http://thesaurus.art.officelive.com/Documents/FlashThesaurus.html ---kamus flash tesaurus keren!



Ada yang mau menambahkan?

Selasa, 03 November 2009

konstruksi kalimat

Kesalahan konstruksi frase
Sebelum mengulas tentang kesalahan konstruksi frase, simak terlebih dahulu dasar pembagian konstituen dalam kalimat. Konstituen merupakan konstruksi yang membentuk struktur kalimat, misalnya "Budi membeli baju" terdiri atas konstituen "Budi", "membeli", dan "baju". Dalam tataran yang lebih sempit, konstituen terdiri atas pusat dan atribut. Dalam kalimat bagian intinya adalah predikat, sedangkan bagian-bagian lainnya hanyalah atribut. Hal tersebut dikarenakan predikat merupakan penentu status kalimat. Dalam konstituen yang berupa frase terdapat bagian inti dan atribut, dalam bentuk kata majemuk, semua adalah inti yang tidak dapat terlesapkan.

"Kebanyakan siswa--membawa--handphone--ke sekolah."

Kalimat tersebut terbagi atas empat konstituen yang ditandai dengan garis putus. Pada konstituen pertama "kebanyakan siswa" merupakan sebuah frase. Bagian inti adalah "siswa" dan atributnya adalah "kebanyakan". "Kebanyakan" mempunyai makna 'terlalu banyak', jadi apabila digabung dengan bagian inti, menjadi 'terlalu banyak siswa'.
Sungguh aneh tatanan frase tersebut. Sudah semestinya frase yang demikian ini tidak digunakan sebab maknanya jadi aneh.

Menurut saya, hal yang demikian merupakan pemengaruhan bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia. Kasus tersebut hanya salah satu contoh saja. "Kebanyakan" + 'inti' merupakan hasil pemengaruhan "most of" + 'inti' yang lazim digunakan dalam bahasa Inggris! Ini adalah hasil dari terjemahan salah-kaprah yang digunakan dalam menerjemahkan buku-buku teoretis selama berpuluh-puluh tahun. Mungkin penerjemahnya hanya melihat kesepadanan istilah dan tanda baca, belum sampai tahap frase, apalagi kalimat. Kemudian hasil terjemahan sampai ke buku-buku teori di bangku kuliah, lalu merambat ke berbagai media massa sehingga orang awam pun mengikutinya. Akibatnya, terjadilah salah kaprah.

Dalam struktur kalimat, kesalahkaprahan muncul pada penggunaan kata “di mana” sebagai kata penghubung antarklausa.

Sebagai contoh:

"Penyakit ini biasa menyerang kucing, terutama kucing-kucing di penampungan hewan, dimana terdapat sejumlah besar kucing dewasa & anakan hidup bersama."


Nah, di contoh tersebut di mana digunakan untuk menyambung klausa pertama dengan klausa kedua. Klausa pertama: "Penyakit ini biasa menyerang kucing, terutama kucing-kucing cattery penampungan hewan." S-P-O

Klausa kedua: "terdapat sejumlah besar kucing dewasa & anakan hidup bersama.: S-P-O


Sejatinya dalam bahasa Indonesia kalimat ini tidak berterima. Tidak berterima hanya gara-gara kata di mana. Dalam bahasa Inggris hal ini disebut grammar. Tidak berbeda dengan bahasa Inggris, bahasa Indonesia pun sebenarnya punya grammar, tetapi dengan struktur yang berbeda dengan bahasa Inggris.

Solusi
"Penyakit ini biasa menyerang kucing, terutama kucing-kucing di penampungan hewan, karena di tempat ini sebagian besar kucing dewasa dan anakan hidup bersama."

Sebenarnya sangat gampang bagi seorang ahli bahasa Indonesia untuk mengenali suatu tulisan merupakan hasil terjemahan atau bukan.

Kesalahan berbahasa: Penggunaan kata “di mana” dan “yang mana”
Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Ejaan Yang Disempurnakan belum cukup memberikan solusi dalam permasalahan penggunaan bahasa Indonesia yang benar.
Mengapa salah? Awalnya kata ini merupakan kesalahan penerjemahan kata "where" dan "which is" dalam bahasa inggris yang berfungsi sebagai konjungsi antarklausa, misalnya

"Peter was so depressed at his office where he is being the employee."
S(pelaku 1)-P-Ket-konj-s(pelaku 1)-p-pel.

"John brought a computer which is he buy with his own money."
S-P-o-konj-s-p-pel.

Unsur 1 pelaku yang terdapat dalam 2 klausa pada satu kalimat bertingkat di atas terasa janggal karena penggunaan “di mana” dan “yang mana”.

Umumnya penerjemah harus menghiraukan kesejajaran sintaktik.

Penerjemahan kalimat di atas adalah "Peter sangat tertekan di kantor tempatnya bekerja sebagai karyawan" dan "John membawa komputer yang ia beli dengan uangnya (sendiri)."

pengertian kalimat

Kesalahan penggunaan tanda baca saya kira kurang terlalu penting untuk dibahas, kecuali penggunaan tanda baca titik.

Secara mudah, titik berarti tanda kalimat berhenti. Nah, berdasarkan hal itu, simak juga pengertian kalimat.

Kalimat adalah susunan kata atau kata yang berawalan huruf kapital, lalu diakhiri dengan tanda baca titik. Satu kalimat terdiri atas satu klausa atau lebih. Dalam kalimat yang berdiri sendiri, unsur terpentingnya adalah memenuhi fungsi gramatikal suatu klausa, yakni subjek dan predikat yang harus ada. Tanpa keduanya, sebuah kalimat tidak akan bermakna apa-apa.

Contoh:
Budi makan.
S-P

Bandingkan dengan
*Budi siang hari.
*Budi saja.
*Budi pohon.

Adapun inti klausa adalah predikat. Predikat dapat berupa kata atau frase sifat (adjektiva), angka (numeralia), kata benda (nomina), dan lebih seringnya adalah kata kerja (verba). Jadi, semua jenis kata bisa menjadi predikat.

Mungkin Anda mengira bahwa semua predikat adalah kata kerja. Saya tidak menyalahkan itu karena faktanya dalam kalimat lengkap yang diajarkan para guru di sekolah hampir semua menggunakan predikat verba.

Contoh:
Budi bermain di halaman.

Bermain merupakan predikat jenis verba. Namun, apakah Anda pernah menganalisis contoh kalimat berikut?
Budi anak Pak Lurah.


Atau ini.

Ibu guru Budi: Jam berapa biasanya budi berangkat ke sekolah?
Ibu Budi: Tujuh.

(Angka) tujuh tersebut merupakan predikat. Kok bisa? Coba perhatikan bahwa "tujuh" tersebut tidak bermakna apa-apa tanpa konteks di belakangnya. Namun, sepatah kata pun adalah kalimat dan unsur yang pasti ada dalam kalimat adalah predikat.

Masih tidak percaya?
Ibu budi mengucapkan kata "tujuh" tentu bukan tanpa sebab. Ia mengucapkannya karena ada yang menanyakannya sehingga kontekstualitasnya terjaga, bisa berarti untuk mengefektifkan pembicaraan. Apabila ia mengucapkan jawaban secara lengkap, akan berbunyi seperti ini.

Ibu guru Budi: Jam berapa biasanya budi berangkat ke sekolah?
Ibu Budi: (Budi biasanya berangkat ke sekolah jam) tujuh.

Nah, sekarang coba menganalisis struktur kalimat lengkap tersebut.
Budi biasanya berangkat ke sekolah jam tujuh.
S-ket-P

Nah, sekarang Anda mengetahui bahwa sebuah kata pun dapat menjadi kalimat. Namun, ingat, hanya diterapkan apabila berada dalam lingkup kontekstual dua arah (terjadi percakapan yang membutuhkan efektivitas penggunaan bahasa). Bagaimana jika komunikasi satu arah? Satu arah yang dimaksud adalah dalam tulisan karena tidak terjadi interaksi dua arah.

Jika dalam komunikasi dua arah, yang patut dihindari adalah penggunaan titik yang tidak wajar. Yang dimaksud ketidakwajaran tersebut kerap muncul dalam tulisan-tulisan sastra. Namun, itu sudah beda arah karena maksud tertentu dari sastrawan. Tentunya penggunaan titik oleh sastrwan yang benar mengetahui dasar-dasar bahasa Indonesia yang benar. Yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari adalah penggunaan bahasa di media massa.

Berdasarkan pemahaman di atas, kalimat yang benar adalah kalimat yang mempunyai klausa. Bila diamati secara seksama, tidak semua kalimat di atas yang memenuhi minimal satu unsur sebagai klausa. Ada baiknya kesalahan mendasar seperti ini diperbaiki.

afiksasi

Ber-, meN-
Imbuhan adalah mata pelajaran bahasa Indonesia yang paling susah bagi orang asing. Namun, orang Indonesia pun seringkali salah dalam menggunakannya.

Imbuhan dalam linguistik dikenal dengan sebutan afiks. Afiks merupakan morfem terikat, yaitu morfem yang mempunyai makna apabila dilekatkan pada kata dasar, contohnya /ber-/, /meN-/, /ber-kan/. Ada empat macam afiks, yaitu prefiks, infiks, dan sufiks. Pada prefiks morfem terletak di depan kata dasar, infiks dilekatkan di tengah kata dasar, dan sufiks di belakang kata dasar.

N = Nasal, berupa /n/, /m/, /ng, dan /ny/. Orang jepang akan sangat kesusahan melafalkan keempatnya apabila keempat fonem tersebut terletak di kata bagian belakang dari urutan arbitrer. Dalam meN- bahasa Indonesia variasi Nasalnya bisa hilang, misalkan meN + lambung = melambung, meN- + laknat = melaknat.

Ber-ubah bukan be-rubah, jadi meng-ubah, bukan merubah

Ber + kerja = bekerja, terjadi pelesapan /r/ karena /r/ pada kata kerja sudah ada.

Ber + pergi+ an = bepergian

Ber+ cermin = becermin, tercermin

Ber + kumpul = berkumpul, tidak ada terjadi pelesapan

Sebagian besar masyarakat mengira bahwa “terlanjur” merupakan kata berimbuhan. Dapat dipastikan bahwa hal itu salah kaprah. Yang benar adalah “telanjur”. Telanjur merupakan sebuah kata, bukan “terlanjur”, karena tidak ada kata dasar “lanjur” dalam bahasa Indonesia.

Minggu, 01 November 2009

KESALAHAN BERBAHASA AKIBAT TERJEMAHAN SALAH KAPRAH

Apakah Anda kira bahasa itu hanyalah sekadar alat untuk berkomunikasi dengan orang lain? Sesuatu yang secara alami dapat dilakukan semua orang, seperti berjalan kaki? Jika iya, tak salah memang, tapi pemahaman Anda sangat sempit. Tak tahukah Anda bahwa bahasa adalah penyampai ide, gagasan, dan ungkapan perasaan kepada orang lain dengan varian yang berjuta-juta tiap kalimatnya? Bila Anda sanggup menyebutkan nama-nama warna di dunia, lalu merangkainya, itu tak seberapa dibandingkan dengan bahasa yang berjuta-juta varian! Nah, bila Anda ingin mengungkapkan isi hati secara tepat agar orang lain tahu maksud Anda, bahasa adalah nyawa Anda untuk mengungkapkannya!

Pepatah mengatakan, bahasa menunjukkan bangsa. Tak hanya itu, bahasa juga mencerminkan pribadi seseorang dan juga karakter masyarakat. Berkaca pada bangsa lain, Pemerintah Jepang bisa bangkit dari keterpurukan karena mereka benar-benar memproteksi masyaratnya dari pengaruh luar pasca perang dunia II, sampai-sampai hampir seluruh masyarakat Jepang tidak mengetahui bahwa bangsanya pernah menjajah bangsa-bangsa lain di Asia. Sejarah kelam itu disimpan rapat-rapat dalam perpustakaan rahasia milik pemerintah. Bila pergi ke Jepang, tak akan Anda temukan adanya tulisan mengenai penjajahan yang telah mereka lakukan. Diyakini hal inilah yang membuat bangsa Jepang dapat berkembang pesat. Di Jepang, bahasa Inggris baru mulai diajarkan pada murid kelas X (kelas 1 SMU). Seperti pepatah di atas, masyarakat kita tak pernah maju karena selalu mengekor bangsa lain, ‘hanya’ karena masalah bahasa.

Sejak dahulu hingga sekarang, pemerintah belum memberikan proteksi terhadap pengaruh bahasa asing. Dalam lingkup LIPI, hanya sanggup menghasilkan KBBI yang merujuk pada kosakata, dikumpulkan dari Balai Bahasa yang digadang-gadang jadi “polisi bahasa”. Namun, peran LIPI masih belum terasa dengungnya, Balai Bahasa hanya mengadakan lomba-lomba penulisan karya sastra, serta masih kurang melakukan tindakan konkret untuk menyelamatkan bahasa. Dinas Pendidikan yang diberi mandat untuk memberikan pengajaran bahasa Indonesia yang baik, namun tidak kompeten di tingkat bawah (tingkat guru). Buktinya, penguasaan bahasa Indonesia yang benar hanya sampai pada guru bahasa Indonesia (dan di kalangan guru sering juga terjadi perdebatan). Dengan kata lain, tidak seluruh guru, minimal, mampu menguasai mempraktikkan bahasa Indonesia dengan tepat. Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Ejaan Yang Disempurnakan yang disusun LIPI pun belum cukup memberikan solusi dalam permasalahan penggunaan bahasa Indonesia yang benar. Buku Tata Baku Bahasa Indonesia masih terasa asing di telinga sebagian besar editor, penulis skrip di media televisi, wartawan, maupun penerjemah. Rata-rata hanya dijadikan penghias ruang kantor.

Bahasa Indonesia mempunyai berbagai macam permasalahan pelik dalam strukturnya, misalnya karena pengaruh bahasa daerah serta asing. Pengaruh bahasa daerah terjadi pada tingkat logat/pelafalan dan struktur dalam pemakaiannya. Namun, pengaruhnya masih dalam lingkup regional saja. Sementara itu, pengaruh bahasa asing, selain dalam kosakata, juga memengaruhi struktur sintaktiknya, sedangkan lingkupnya sudah me-nasional.

Selama ini memang para ahli bahasa cenderung mengungkit-ungkit masalah pengaruh dalam kata dan frase bahasa Inggris dan bahasa Belanda dalam bahasa Indonesia. Seiring perkembangan zaman, banyak orang belajar bahasa Inggris. Namun, mereka yang belajar bahasa Inggris belum menguasai bahasa Indonesia yang baik dan benar terlebih dulu. Akibatnya, mereka terkadang berbicara bahasa Indonesia memakai struktur Inggris. Dengan kata lain, pengaruh bahasa Inggris terhadap bahasa Indonesia tidak hanya pada tingkatan kata dan frase, tetapi telah sampai pada tataran kalimat.

Kesalahan konstruksi frase
Sebelum mengulas tentang kesalahan konstruksi frase, simak terlebih dahulu dasar pembagian konstituen dalam kalimat. Konstituen merupakan konstruksi yang membentuk struktur kalimat, misalnya “Budi membeli baju” terdiri atas konstituen Budi, membeli, dan baju. Dalam tataran yang lebih sempit, konstituen terdiri atas pusat dan atribut, misalnya dalam kalimat bagian intinya adalah predikat, sedangkan bagian-bagian lainnya hanyalah atribut. Hal tersebut dikarenakan predikat merupakan penentu status kalimat. Dalam konstituen yang berupa frase terdapat bagian inti dan atribut, misalnya frase “di rumah” bagian inti adalah rumah dan atributnya adalah di.

Berikut adalah contoh kesalahan berupa frase.
1. *Kebanyakan siswa membawa handphone ke sekolah.

Pada kalimat di atas “kebanyakan siswa” merupakan sebuah frase. Bagian inti adalah siswa dan atributnya adalah “kebanyakan”. “Kebanyakan”, dalam konteks apa pun, bermakna terlalu banyak, misalnya “Masakan sangat asin karena kebanyakan garam” atau “Kebanyakan begadang bikin pusing”. Jadi, apabila digabung dengan bagian inti, seharusnya makna frase pada contoh di atas menjadi terlalu banyak siswa.

Kasus tersebut adalah salah satu contoh merupakan pemengaruhan bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia. Kebanyakan + inti merupakan hasil pemengaruhan kata most of (bahasa Inggris), misalnya “most of viewers” atau “Most of students”! Solusi terhadap permasalahan ini sebenarnya sangat sederhana, yakni mengubahnya menjadi frase “sebagian besar” atau bisa juga “mayoritas”. Oleh karena itu, struktur frase akan berubah pula menjadi sebagian besar siswa atau “mayoritas siswa”. Memang ada perubahan karena tidak sesuai kaidah terjemahan word to word (kata per kata) untuk “sebagian besar” atau etimologis kata yang tidak sesuai untuk “mayoritas” (mayoritas berasal dari bahasa Inggris “majority”), namun ini lebih berterima.

Bagaimanapun juga, kaidah makna yang dikandung oleh satu struktur bahasa dengan bahasa lain jelas berbeda. Yang paling gampang contoh ketidaksamaan struktur adalah bahwa bahasa Inggris selalu memerlukan subjek dalam klausa, sedangkan dalam bahasa Indonesia tidak selalu demikian karena subjek dapat dilesapkan, baik dalam klausa maupun kalimat (terutama dalam bidang sastra).

Kesalahan berbahasa: Penggunaan kata “di mana”


Awalnya, “di mana” merupakan kesalahan penerjemahan kata “where” yang salah satu fungsi utamanya dalam bahasa Inggris adalah sebagai konjungsi antarklausa. Dalam berbagai media, seringkali muncul kesalahan ini. Di bawah ini adalah contoh kesalahan terjemahan, yakni terjemahan buku The Aroma of Success― Evita Zoraya.
2. Don’t think this like caffeine where you do need more and more shots.
*Jangan menyamakan ini seperti kafein di mana Anda perlu terus-menerus meminumnya.
3. Have you ever in a situation where you panic?
*Pernahkah Anda berada dalam situasi di mana Anda panik?
Konjungsi seperti di atas kemudian diikuti oleh penulis lokal (bukan terjemahan) seperti contoh di bawah ini.
4. *Ini adalah eksperimen yang menakjubkan di mana hewan kehilangan sisi liarnya.
(www.kucingkita.com)
5. *Obat tetes biasanya diteteskan di kulit pangkal kepala di bagian belakang, di mana kucing tidak bisa menjilat bagian tersebut. (www.kucingkita.com)

Pada dua contoh tersebut “di mana” digunakan untuk menyambung klausa pertama dengan klausa kedua.

Pada kalimat (2)
Klausa pertama : Jangan menyamakan ini seperti kafein
Klausa kedua : Anda perlu terus-menerus meminumnya
Pada kalimat (3)
Klausa pertama : Pernahkah Anda berada dalam situasi
Klausa kedua : Anda panik
Pada kalimat (4)
Klausa pertama : Ini adalah eksperimen yang menakjubkan.
Klausa kedua : hewan kehilangan sisi liarnya.
Pada kalimat (5)
Klausa pertama : obat tetes biasanya diteteskan di kulit pangkal kepala di bagian belakang
Klausa kedua : kucing tidak bisa menjilat bagian tersebut

Sejatinya dalam bahasa Indonesia kalimat ini tidak berterima. Tidak berterima hanya gara-gara kata “di mana”! Dalam bahasa Inggris “where” (di mana), selain digunakan sebagai kata tanya, lazim dan baku pula digunakan sebagai konjungsi antarklausa. Namun, tidak demikian halnya dengan bahasa Indonesia. “Di mana” bukanlah konjungsi antarklausa dalam bahasa Indonesia. Adapun konjungsi yang berterima dalam bahasa Indonesia adalah “karena”, “sebab”, “sehingga”, “maka”, dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris, hal semacam ini merupakan permasalahan grammar. Tidak berbeda dengan bahasa Inggris, bahasa Indonesia pun sebenarnya punya grammar, tetapi strukturnya berbeda dengan bahasa Inggris. Uniknya, karena tahu bahwa di mana merupakan kata tanya, banyak media kemudian menuliskannya menjadi “dimana”. Penggabungan dua kata ini mungkin maksudnya untuk membentuk konjungsi baru yang sepadan dengan “where” dalam bahasa Inggris. Padahal kondisi tersebut semakin memperparah kesalahan yang ada karena konjungsi yang salah berupa frase itu malah dijadikan menjadi kata majemuk.

Solusi

2.a Jangan menyamakan ini seperti kafein yang perlu Anda minum terus-menerus.
3.a Pernahkah Anda berada dalam situasi panik?
4.a Ini adalah eksperimen yang menakjubkan karena hewan kehilangan sisi liarnya.
5.a Obat tetes biasanya diteteskan di kulit pangkal kepala di bagian belakang sehingga kucing tidak bisa menjilat bagian tersebut.

Pembentukan frase dan konjungsi yang mengikuti pola bahasa Inggris tidak hanya itu saja, masih ada “itu sendiri”, “yang mana”, “dan lain sebagainya”, dan lain-lain. Kesalahan semacam di atas, awalnya, sangat lazim muncul dalam setiap penerjemahan buku-buku asing dan hasil liputan wartawan asing (misalnya Reuter atau AFP). Buku-buku serta media massa asing yang diterjemahkan di Indonesia hampir seluruhnya berbahasa Inggris. Tak ayal, seringkali tanpa sadar, penutur ataupun penulis lokal yang akrab dengan bahasa Inggris menggunakan struktur bahasa tersebut. Banyak akademisi dan wartawan yang kurang menguasai bahasa Indonesia, menerapkan kaidah-kaidah asing dalam berbahasa Indonesia.

Sudah semestinya para penerjemah lebih kompeten dalam berbahasa Indonesia. Mereka ada di barisan terdepan. Dari merekalah buku-buku kuliah dan umum tersebut diterjemahkan kemudian dipakai untuk mengajar dan menulis berita. Hiraukan kesejajaran sintaktik karena salama ini mayoritas masih saja menggunakan struktur bahasa Inggris (Bsu) yang dipaksakan ke dalam bahasa Indonesia (Bsa). Alhasil teks Bsa tersebut sangat terasa Inggrisnya, padahal sebelumnya struktur tersebut tidak terdapat dalam bahasa indonesia. Kemudian hasil terjemahan sampai ke media massa sehingga akademisi maupun orang awam pun mengikutinya. Akibatnya, terjadilah salah kaprah. Lalu, merembet media cetak dan elektronik nasional.


Keterangan:
* merupakan kalimat yang tidak berterima atau tidak gramatikal dalam bahasa Indonesia

Pentingnya Wawasan Tanda Baca

Meskipun saya juga sering tidak memerhatikan kualitas tulisan sendiri, kali ini saya paparkan beberapa kesalahan pemakaian tanda baca.

Sampai sejauh ini tidak ada komplain tanda baca di media massa oleh para peneliti bahasa. Tanda baca masih dianggap konvensi dalam tulisan sekaligus fungsi utamanya sebagai alat untuk menerjemahkan bentuk tutur ke bentuk tulis. Bila dicermati lebih lanjut, bentuk bahasa tulis berkembang sehingga memiliki kekhasan yang seringkali tidak ditemukan dalam bentuk lisan. Sebagai contoh kekhasan bentuk tulis yang hampir tidak bisa disamakan dengan bentuk lisan adalah tulisan ilmiah. Tulisan jenis ini sangat berbeda dengan bentuk tuturan karena dipenuhi berbagai aturan ketat, misalnya tiadanya kata ganti orang pertama “saya”, “aku”, “beta”, “kami”, dan “kita” yang merupakan unsur wajib hadir dalam bahasa Inggris.

Rupanya sudah terlalu bertele-tele. Saya tuliskan saja kesalahan pemakaian tanda baca dalam tulisan.

1. Titik
Banyak sekali kesalahan penggunaan titik di berbagai tulisan, mungkin terkecuali tulisan ilmiah. Titik dikonvensikan dan dibakukan sebagai tanda baca yang mengakhiri kalimat. Adapun definisi kalimat tak saya ungkapkan, namun minimal satu kalimat memenuhi fungsi satu klausa dan menggambarkan pernyataan yang utuh.
Kesalahan utama adalah adanya pernyataan utuh yang terpenggal. Terjadi pada dua klausa yang seharusnya berada dalam satu pernyataan, namun dipenggal demi alasan-alasan yang tidak logis. Berikut adalah penggalan dua paragraf yang berurutan, didapatkan dari salah satu situs di internet.
(1) Kemiripan lain anjing dan manusia dalam hal reproduksi adalah dalam hal pelepasan sel telur dari indung telur. Dalam bahasa kedokteran sering disebut ovulasi.

(2) Kemiripan lain anjing dan manusia dalam hal reproduksi adalah dalam hal pelepasan sel telur dari indung telur. Dalam bahasa kedokteran sering disebut ovulasi.


Pertanyaannya: bisakah kalimat kedua dapat berdiri sendiri tanpa kalimat pertama? Untuk tahu jawabannya, langkah pertama adalah hilangkan dulu kalimat pertama dari pikiran Anda:

Dalam bahasa kedokteran sering disebut ovulasi.

Kalimat di atas ganjil 'kan? Jujur, penggunaan titik yang salah seperti ini membuat perutku sakit!

Perhatikan pula paragraf di bawah ini.

Kucing sedikit berbeda. Siklus reproduksi kucing tidak berlangsung teratur dalam periode tertentu. Tahap birahi/minta kawin (estrus) pada kucing dipengaruhi oleh berbagai hal. Salah satunya adalah lama matahari bersinar dalam satu hari (day light time).

Paragraf tersebut merupakan kelanjutan dari kedua kalimat di atas. Pada kalimat pertama sama sekali tidak menampakkan kejelasan maksud. Penggunaan titik yang salah seperti ini membuat kepalaku sakit. Sepertinya, penulis tidak memperhatikan pengertian paragraf. Istilah Jawanya, “ sukur nulis”!

2. Koma
Salah satu penulisan koma yang salah sudah saya ungkapkan di tulisan sebelumnya. Kali ini saya menuliskan pemakaian koma yang tidak tepat:

1) Hal ini mengakibatkan dia terlihat sebagai orang yang ”berpandangan jauh ke depan”, sehingga apa yang dilakukannya adalah dekonstruksi terhadap sesuatu yang dianggap biasa atau umum di kalangan Barat.

2) Rumusan-rumusan tata bahasa suatu bahasa tidak dipaksakan pada bahasa yang sedang kita selidiki sebaiknya suatu bahasa dianalisis berdasarkan bukti-bukti alamiah yang ada pada bahasa tersebut. Pengenalan nilai-nilai falsafah Jawa juga dapat dimulai di lingkungan ini, bentuk falsafah Jawa terkandung dalam ungkapan, pribahasa dan cerita rakyat, orang tua dapat menjadi medianya selain itu intensitas pemakaian diperbanyak.

3) Dari kedua aliran tersebut, kita dapat melihat persamaan maupun perbedaan dalam kaitannya akan kontroversi media dalam pembentukan maupun penanaman ideologi yang ada kepada khalayak.

4) Penyakit ini biasa menyerang kucing, menyebabkan gangguan pernafasan, luka sekitar bibir dan mulut seperti sariawan (ulkus oral), kadang disertai sakit persendian.

5) Sebagaimana yang kita ketahui juga bahwa, kini perusahaan rokok semakin dibatasi kesempatannya dalam memasarkan/mengiklankan produknya, baik itu dalam hal ruang pemasaran maupun dalam hal waktu pemasaran.

6) Tahun ini, tema yang diusung adalah "Tobacco Free-Youth".

Apa yang bisa Anda temukan dari penggunaan koma-koma di atas? Saya kira mayoritas kalimat di atas malah jadi berantakan!

Keenam contoh di atas sama buruknya. Sebagian besar koma di atas sangat tidak diperlukan!

3. Antara Titik Koma dan Titik dua
Titik koma (;) digunakan dalam memisahkan antarklausa dari satu kalimat majemuk setara, dan bukan digunakan untuk memberikan contoh seperti kalimat di bawah ini.

Sebagai seorang peternak ayam kampung saya butuh uang untuk membeli; kandang ayam, anak ayam, pakan, obat, dan lain-lain.

Kalimat di atas dituliskan tanpa kemengertian si penulis terhadap arti titik koma! Harusnya, ditulis dengan titik dua (:)



Bukannya sok paling ngerti, paling benar, paling hebat, maupun paling-paling yang lain, saya hanya ingin katakan TIDAK pada tulisan buruk seperti itu meskipun tulisan saya tidak bisa dipandang baik. Ejaan memang hal yang tidak terlalu penting apabila hanya masalah salah ketik atau ketidaktahuan aturan, namun beda halnya apabila memengaruhi struktur kalimat, sesuatu yang bikin mata dan otakku gatal saat membaca.


Bangsa-bangsa maju bisa maju, salah satunya, karena bahasa yang mereka pakai mempunyai kebakuan yang ditaati oleh pemakainya.

Silakan komentar!
Mau ketawa juga boleh, mau ngejek sangat boleh, mau dibilang terlalu meledak-ledak seperti anak muda juga tidak apa-apa. Ini hanyalah jeritan terhadap yang mengaku bangga menjadi orang Indonesia, punya jiwa patriot, nasionalisme yang diangkat setinggi langit, tapi tidak menghargai bangsanya sendiri. Salah satu sikap tidak menghargai bahasanya sendiri adalah orang Indonesia tidak benar-benar mempelajari serta menggunakannya dengan benar!

sedikit permasalahan morfologis bahasa Indonesia

ini kuambil dari potongan catatanku sendiri (yg mau kukirim ke koran tempo tapi blum jadi dikirim):

Dengan banyaknya keluhan, Pusat Bahasa kemudian mengeluarkan KBBI lagi, yakni edisi 2008. semua orang kemudian berharap KBBI terakhir sebagai pemecahannya, namun sayang sekali tak jua menyelesaikan persoalan. Malah menambah persoalan.

Sebagai contoh, masih menjadi perdebatan, yang baku adalah “memerhatikan” atau “memperhatikan”, “memedulikan” atau “mempedulikan”, dan “memengaruhi” atau “mempengaruhi”. Bila menilik KBBI 2008, asal kata-kata tersebut adalah “hati”, “peduli”, dan “pengaruh”.

Dalam KBBI 2003 asal kata adalah “perhatikan”, namun berubah menjadi “hati” pada edisi selanjutnya. Oleh karena itu, hasil proses morfologis yang tepat pada kata “hati” adalah “memperhatikan”, atas dasar perubahan "hati" -> "perhatikan" -> "memperhatikan". Namun, saya tidak setuju. Saya lebih condong memilih KBBI 2003. Meskipun secara etimologis benar, namun asumsi saya, "perhatikan" adalah sebuah kata tersendiri, sama dengan "perhatian". Juga, tidak ada hubungan sama sekali antara makna “hati” dengan “memperhatikan”, bandingkan dengan kata “tonton” menjadi “mempertontonkan”.

Sedikit catatan berdasarkan etimologi dua kata: "pengartian" dan "pengertian". Pada awalnya penggunaan kata dasar kedua kata tersebut dianggap sama dalam bahasa Melayu, yakni disebut "arti" atau "erti". Kedua kata itu sama saja secara makna; perbedaan yang muncul hanya karena perbedaan dialek. Namun, kemudian bercabang menjadi dua makna dan dua macam bentuk saat mendapatkan afiksasi.

Makna “tonton” bersinonim dengan “lihat”, namun ia merupakan kata benda (nomina). “Tonton” bila mendapatkan afiksasi memper-kan akan menjadi "mempertontonkan". “Hati” secara denotasi sama dengan kata “jantung”, namun secara konotasi berarti “perasaan”. Pada “memperhatikan”, makna “hati” seolah-olah hilang oleh proses morfologis. Padahal, proses morfologis hanya mengubah status kata, misalnya nomina menjadi verba, seperti tertera pada kata “tonton” -> “mempertontonkan”.

Hemat saya, penambahan khazanah kebahasaan dalam kasus ini dibedakan dari etimologi. Saya setuju bahwa “perhatikan” adalah sebuah kata yang dapat berdiri sendiri, bukan atas dasar afiksasi yang dikenai pada "hati", bukan pula“perhati” yang oleh sebagian orang dianggap morfem terikat. Bila permasalahan kata “memerhatikan” atau “memperhatikan” ini selesai, permasalahan serupa akan selesai pula, yakni “peduli”, bukan “duli” dalam “memedulikan" dan bukan “aruh” melainkan “pengaruh” dalam “memengaruhi”.

Selain permasalahan di atas, masih banyak lagi. Menurut saya, itu masih di tingkat morfologis, belum ke paparan sintaksis. Bila mempelajari perkembangan sintakmatik bahasa Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir, akan ditemui sejumlah kejanggalan. Salah satunya adalah karena adanya interferensi bahasa Inggris terhadap bahasa Indonesia.